Fajarbangsa- Masyarakat semakin heran dengan sikap pemerintah yang belum mengambil tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang mengangkangi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai satu-satunya organisasi advokat yang sah. Hal ini mencuat setelah adanya laporan bahwa Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) diikuti oleh peserta yang bukan sarjana hukum.
Banyak pihak merasa bingung dan mempertanyakan bagaimana mungkin peserta non-hukum dapat mengikuti PKPA yang seharusnya diikuti oleh sarjana hukum. "Ini jelas bertentangan dengan ketentuan UU Advokat," kata seorang praktisi hukum yang enggan disebutkan namanya.
Menurut laporan, kegiatan PKPA yang diselenggarakan untuk peserta non-hukum seperti sarjana sastra, ekonomi, dan lainnya jelas merupakan pembangkangan terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. "Ini semua sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan UU Advokat," tegas seorang akademisi hukum yang turut mengomentari kasus ini.
Sumber lain menyebutkan bahwa biang keladi dari ketidakpatuhan ini adalah Surat Keputusan Mahkamah Agung (SK MA) Nomor 73 Tahun 2015, yang membolehkan pengadilan tinggi mengambil sumpah calon advokat dari luar Peradi. Berdasarkan perintah Undang-Undang Advokat, hanya ada satu wadah tunggal organisasi advokat yakni Peradi, yang berwenang menyelenggarakan PKPA, mengangkat dan memberhentikan advokat, serta meningkatkan kualitas advokat.
Masyarakat berharap pemerintah segera mengambil tindakan tegas untuk menegakkan aturan dan menjaga integritas profesi advokat di Indonesia. "Bagaimana bisa lahirnya advokat profesional, berintegritas, dan berkualitas kalau tidak melalui proses yang benar?" ujar seorang pengamat hukum yang mengikuti perkembangan kasus ini. (Red)
No comments:
Write comments